Pages

Senin, 29 Oktober 2012

SAHABAT

Bersamamu Aku Tegar
Aku sadar... disini arti ketulusan yang sesungguhnya
Yang tak pernah kudapati...di tempat lain!
Ku mengerti... makna kebersamaan yang sebenarnya
Hanya denganmu...bukan yang lain!

Disini juga, tak pernah ada kebohongan, seperti tempat lain
Semua berjalan jujur, tanpa pura-pura
Ini bukan basa-basi... seperti kata politisi
Sahabatku...arti kejujuran yang nyata

Tawa dan canda terdengar lepas di semua bahagiaku
Tangis pun mengalir pilu di setiap dukaku
Kurasakan beban itu, bukan apa-apa
Selagi bisa kita berbagi dalam suka dan sedih

Sahabatku, Tuhan telah mengirim malaikat
Yang bersemayam di jiwamu
Kini kutau mengapa? Tuhan memilihmu
Hadir diantara tawa dan tangisku

Engkau adalah pilihan dari kehendak-Nya
Sahabatku, waktu terus berjalan... itu artinya,
Harus melangkah terus kedepan
Jalan ini sangat panjang, takkan kuat sendirian

Beratnya hidup, harus diperjuangkan
Sahabatku, bersamamu aku hidup
Bersamamu aku tegar
Tak goyah, meski di hadang badai

Sahabat..! yakinlah
Bersama, kita akan tegak berdiri
Jangan pikul sendiri semua beban
Biarlah segala menjadi milik kita

Sabtu, 20 Oktober 2012

Cerpenku

 CINTA PERTAMA RADIT
Radit adalah sebuah makna yang tertulis indah dalam setiap perjalanan hidupku. Manis dan harum kasihnya.
Suatu kisah mengingatkan kami pada lukisan- lukisan masa lalu kami. Sore itu, saat perbincangan panjang terjadi.
"Dit, first love kamu siapa sih? kalau boleh tau" tanyaku.
"Emang penting ya?", jawab Radit menggoda.
"Ayolah Dit...", bujukku penasaran.
"Luna... namanya Luna...", jawab Radit.
"Mantan kamu yang nomor serinya berapa ya Dit itu? kok gak pernah denger akunya?", tanyaku menggoda.
"Emang kamunya belum aku ceritain lemot...!", seru Radit.
Dari cerita Radit,
ternyata Luna adalah kenangan Radit yang begitu dalam menggores hatinya. Dahulu, Radit menyayangi Luna dengan sepenuh hatinya dan melebihi hidupnya. Kata Radit sih, " I love her more than my life ". Entah sedalam apakah itu. Aku tak tau. Tanpa ia ketahui ternyata Luna mengidap kanker darah stadium 3 selama berpacaran dengannya. Hingga suatu saat Radit harus pindah rumah. Dan 3 bulan lamanya Radit tak pernah mengunjungi Luna. Bahkan tak ada komunikasi sama sekali.
Suatu saat, hati Radit sangat terusik. Sangat gelisah. Bahkan Radit tak mengerti mengapa ia begitu gelisah. Radit pun iseng- iseng mengunjungi kediaman Luna. Disana ia disambut Ayah Luna.
"Om Luna ada", tanya Radit.
"Luna masih di Jakarta nak Radit. Kemarin lusa baru saja berangkat", jelas Ayah Luna.
Sekian lama perbincangan Radit dan Ayah Luna, ada seorang wanita mengenakan pakaian hitam datang.
"Pak, saya turut berduka cita", kata wanita itu.
Hati Radit bertanya-tanya akan siapa yang meninggal. Namun Radit tak ingin memenggal pembicaraan diantara mereka. Tak berselang lama, wanita itu berpamitan.
"Maaf Om, siapa yang meninggal?", tanya Radit.
"Em...", Ayah Luna tampak bingung menjelaskan.
"Begini nak Radit, sebenarnya Luna sekarang tidak berada di Jakarta. Luna mengidap kanker darah stadium akhir", jelas Ayah Luna.
Radit terdiam dan semakin penasaran.
"Terus keadaan Luna sekarang Om?", tanya Radit.
Ayah Luna terlihat tak tega ingin mengurai kebenaran yang terbersit.
"Luna tlah tiada nak... Maaf bapak tidak memberi kabar nak Radit", sesal Ayah Luna.
Membeku dalam tangis. Berbaur haru dalam pilu. Dan mencoba menopang hati dalam langkah tak pasti.
"Sejak kapan Om Luna pergi?", tanya Radit berurai tangis.
"3 hari yang lalu Luna meninggalkan kita semua", jawab Ayah Luna.
Ayah Luna membeberkan bagaimana bahgianya Luna dalam segala tangis dan kesakitannya. Luna bahagia karena dikasihi Radit, namun ia sedih bila Radit tau bagaimana Luna tersenyum dalam kesakitannya. Karena semua itu pula Ayah Luna merahasiakan semua dari Radit. Sebelum kepergiannya, Luna meninggalkan suatu pesan agar Ayahnya memberikan sebuah kotak yang entah apa isinya kepada Radit saat Radit tlah mengetahuinya.
"Nak, ini ada titipan dari Luna", kata Ayah Luna.
"Apa ini Om?", tanya Radit penasaran.
"Entah apa isinya nak... Luna meninggalkan ini untuk kamu", jawab Ayah Luna.
Dan Raditpun segera pulang. Di rumah, ia hanya berdiam diri di kamarnya, memandang kotak pemberian Luna. Entah berapa lama Radit memandangi kotak itu. Bosan hanya memandang kotak itu, Radit mulai membukanya. Didalamnya terdapat foto-foto Radit dan Luna. Dengan wewangian khas Luna. Ada secarik kertas didalamnya.
"Radit... mungkin saat kamu membaca surat ini Luna tlah tiada. Luna minta maaf jikalau selama ini Luna mendustai Radit. Namun, jika Radit tau akan semua ini, Luna pasti sedih. Luna tak ingin melihat Radit sedih. Luna hanya ingin melihat Radit bahagia. Luna tau, Radit kecewa dengan Luna dengan semua ini. Tapi, ini lebih baik untuk kita. Setetes harap dan doa nan syahdu ini selalu menyertai Radit dari Luna. Senandung rindu terakhir Luna untuk Radit. Senyum Radit indah... Menyejukkan hati Luna. Meski Luna tak lagi hidup bersama Radit, namun Radit slalu hidup untuk Luna selamanya".

"Itulah sepenggal kisah yang begitu menggores dan mengenang dalam setiap langkahku", kata Radit.
"Trus foto-foto Luna sekarang Dit?",tanyaku mengusik.
"Sejak 1 tahun kepergian Luna, foto-foto itu aku bakar. Semua tentang Luna, senyumnya, tawanya dan segala tentangnya kuhapus perlahan dari kehidupanku. Meski dia pertama bagiku", papar Radit.

Rupanya Radit tak ingin berlarut dalam keruh harapnya. Tak ingin berlama-lama menduka akan makna yang terucap dari segala kisah bersama Luna. Awalnya ia tak mampu. Namun ia mencobanya kembali dan berulang-ulang kali. Radit bangkit. Bangkit dengan segala manis, pahit, kelam, hitam masa lalunya.
"Namun, kini Luna hanya masa laluku. Yang membisu dan membeku, dingin dan tak kan berucap. Hanya masa lalu. Dan kini, aku disini bersama kamu. Berbagi suka, duka, canda, tawa, sakit, bahagia, kasih, cinta dan hidup. Yakin ku akan hadirmu tak menyakitiku. Harapku akan dirimu membahagiyakanku. Berhembus doa dalam setiap nafas ini inginkan kamu selamanya", ucap Radit padaku.

Aku tersenyum simpul dengan mentari yang berpagut indah bersama pelangi.
                                                                                                                            Detta Wimma RA

Jumat, 19 Oktober 2012

Puisi untukmu Bunda

Bunda,
Hempasan Waktu telah mengurai dosa dan khilaf yg terukir meyentuhmu
Entah berapa banyak tetes jiwamu mengalir,
Kegelisahanmu tercipta menatap ananda yg jauh dari CahayaNya

Aku tertawa disaat engkau gelisah
Aku terlena disaat engkau merindu
Sunguh Hina ketika kalimatku lukai hatimu

Namun lihatlah engkau Wahai Ibuku,
Sejauh apapun aku melangkahkan jiwa
Hanya kepadamu aku mampu merasa dicinta
Hanya darimulah aku mampu melukiskan kasih dan maaf yg takkan lelah menyentuhku..

PERAHU KERTAS

Puisi Kugy untuk Keenan
 
Hari ini aku bermimpi,
Aku bermimpi menuliskan buku dongeng pertamaku,
Sejak kamu membuatkan ku ilustrasi –ilustrasi ini
Aku merasa mimpiku semakin dekat.
Belum pernah sedekat ini
Hari ini aku juga bermimpi
Aku bermimpi bisa selamanya menulis dongeng
Aku bermimpi bisa berbagi dunia itu bersama kamu dan ilustrasi mu
Bersama kamu aku tidak takut lagi menjadi pemimpi
Bersama kamu aku ingin memberi judul bagi buku ini
Karena hanya bersama kamu segalanya terasa dekat,
Segala sesuatunya ada, segala sesuatunya benar
Dan bumi hanyalah sebutir debu dibawah telapak kaki kita.
Selamat ulang tahun

Kamis, 18 Oktober 2012


Puisi Ketika Hujan

Pada hujan ia menangis,
agar tak terlihat matanya meneteskan air diantara ribuan air yang menghujani tubuhnya...
Agar siapapun tak pernah melihatnya bersedih,
karena saat hujan berhenti menyirami,
bersama itu pula air dari sudut mata yang bening itu tak lagi menetes...
Sesungguhnya, ia senantiasa berharap hujan kan selalu datang,
karena hanya hujan yang mau memahami setiap tetes air matanya...
Bersama hujan ia bisa menangis, mengadu,
saling menumpahkan air mata dan merasakan setiap kegetiran...
Karena juga, hanya hujan yang selama ini perduli terhadap semua rasa dan asanya...
Tetapi, pada hujan juga ia mendapati keteduhan, dengan airnya yang sejuk...

Rabu, 17 Oktober 2012

poems

Dari Hati untuk Pahlawan Hidupku

(Untukmu Seorang ayah)

Meski suaramu
Tak semerdu nyanyian lembut seorang ibu
Kau membingkaiku dengan nada nada ketulusan
Yang mengantarkan hatiku. . .
Menuju lembah tinggi. .
Bernama kedamaian
Meski sentuhanmu tak selembut belaian suci seorang ibu
Namun dengan dekapanmu. . .
Ku terhangatkan dengan kasihmu
Ku terlenakan
Dengan cintamu

Tangisku berderai
Kala ku ingat ucapan indahmu menimangku
Kala ku sentuh tubuh letihmu menjagaku

Seperti karang menjaga debu pasir
Kau jaga aku. . .
Kau lindungiku
Dari kotoran raga dan jiwa yang kan basahiku. .
Kau rela di terpa deburan buih
Yang berlalu
Demi aku
Demi anakmu. . .

Seakan tak pernah lelah
Kau hapuskan tetes air mataku
Seakan tak pernah bosan
Kau redamkan aku dari tangisan

Ku urai hati ini
Untukmu
Untuk segalanya yang tlah kau labuhkan pada dermaga hidupku
Hanya sebentuk puisi
Dari ketulusan hati
Untukmu ayahku
 Terima kasih. . . .